Di tengah kodisi yang berubah dan usaha adaptasi ada Quote yang sangat menguatkan :
hard-to-say-it!
dimana warna dan cahaya menjadi kata
Senin, 05 September 2011
Long Taim No Si
Di tengah kodisi yang berubah dan usaha adaptasi ada Quote yang sangat menguatkan :
Kamis, 30 Juni 2011
Hujan Bulan Juni
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
- Sapardi Djoko Damono -
Sabtu, 30 Oktober 2010
Ada kata Syukur! (verb)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhl0zCiaJBCLuxBFu3NCBs5u8Ceh7tYp819yVUPjGRCc0jTElkw7vGgMZ5cs_xH0QV3Ni8JgdCwLKEqwSudyGl9iEbizoaNfjvjQt80qmPEqQkw_9Rt_giFJ8F8zGjHwBgb7727WikY4ZpY/s320/26102010122.jpg)
Sembilan bulan lebih sudah menunggu SK Penempatan Definitif di Direktorat Jenderal Pajak untuk angkatan 2009 . Dan selama itu, bosan? Pasti!
Dan tentunya malas menghadapi pertanyaan yang sama 'Kapan Penempatan?' dari keluarga, teman seangkatan, kakak kelas, adek kelas, teman SMA dan masih banyak lagi. Karena bukan hanya kalian saja yang bertanya seperti itu, dalam hati saya pun saya selalu menanyakan itu. Saat akan membuat perencanaan ke depan pun, pertanyaan itu seakan menjadi momok bagi saya. Bingung bagaimana memetakan hidup ke depan sementara sesuatu yang menyangkut masa depan itu pun belum dapat dipastikan.
Kondisi di kantor yang semakin nyaman membuat kadang-kadang untuk berpikir sudah tidak usah penempatan lagi, 'sudahlah di sini saja,,,'. Tapi merasa juga ini sebagai efek dari kejenuhan menantikan penempatan yang tak kunjung tiba. Tiap hari menilik ke laman Kepegawaian DJP berharap ada pengumuman SK sakti itu. Tak ada kata lain selain kata Bosan dan Jenuh!
Tapi belakangan ini ada berbagai kejadian yang menambah kata lain selain kedua kata tersebut. 'Syukur'! Agak aneh memang. Kenapa? karena dari kejadian ini justru bukan kata ini yang harusnya muncul. Mungkin kata-kata lain yang lebih parah dari Bosan dan Jenuh bisa jadi 'kesal' atau 'marah'. Namun dari kejadian ini ada bagian-bagian yang membuat saya untuk mengatakan Syukur. Kejadian apa??
1. Dua bulan terakhir bahkan sejak April, ada beberapa teman SD, SMP, SMA saya dulu yang setelah kuliah kami berbeda kampus, diwisuda. Tentunya mereka diwisuda dengan menambah panjang nama mereka dengan gelar kesarjanaan mereka. Mulai dari Sarjana Hukum (S.H), Sarjana Teknik (S.T), Sarjana Ekonomi (S.E), Sarjana Sains (S.Si), Sarjana Pendidikan (S.Pd) dan yang terakhir ada yang Sarjana Kedokteran (S.Ked). Mereka sangat bangga saat menggunakan toga dan berdandan layaknya pemenang ketika mereka diwisuda. Mereka juga begitu bangga dengan memajang foto-foto wisuda mereka di akun Facebook mereka. Saya pun tersenyum bangga melihat mereka yang bahagia diwisuda. Dalam kebahagiaan saya, tak lupa saya untuk turut mengucapkan selamat kepada mereka sekalipun itu hanya melalui media Facebook atau SMS saja. Dan tak jarang dari mereka membalas dengan mengharapkan didoakan segera dapat pekerjaan yang baik.
Sontak saya berpikir, "benar juga setelah menyelesaikan kuliah (yang disimbolkan dengan wisuda) ya bekerja" . Yang menjadi pertanyaan bekerja dimana? Apa memang ada lowongan? Saya baru tersadar akan itu.
Hampir setahun yang lalu, setelah saya diwisuda, setelah saya memamerkan foto-foto wisuda saya sebagai wujud rasa bangga saya, mungkin saya tidak memusingkan untuk mencari lowongan kerja. Saya beruntung kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) sekalipun hanya Diploma III (DIII) tapi memiliki ikatan dinas yang berarti setelah lulus kuliah kita akan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Kementrian Keuangan atau instansi lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Jadi setelah saya wisuda, saya tidak perlu pusing mencari pekerjaan.
Disini lah sebenarnya hal yang mendorong saya untuk bersyukur. Ketika teman-teman saya sibuk mencari lowongan pekerjaan setelah lulus saya tidak perlu repot untuk hal itu. Belum lagi mereka harus direpotkan dengan syarat-syarat penerimaan yang sangat ribet mulai dari syarat minimum IPK, jurusan yang dibutuhkan (bahkan sampai program studi), pemgalaman kerja, akreditasi kampus sampai pada syarat TOEFL. Belum lagi ada ketakutan akredibilitas penerimaan yang tidak terjamin dengan adanya Nepotisme. Kalau seandainya saya berada di posisi mereka, saya mungkin tidak punya banyak kelebihan untuk syarat yang ditentukan, IPK saya hanya sebatas cukup lulus saja, sepengetahuan saya kampus saya tidak punya akreditasi, TOEFL pun saya belum pernah. Sekali lagi saya bersyukur!
Dan ketika saya mengingat kalau saya sedang menunggu penempatan dan saya sering mengeluhkan itu, saya jadi malu bahkan sangat tertegur, saat teman-teman saya harus bersusah-payah untuk mencari pekerjaan, apa pantas saya mengeluh sementara saya sudah bekerja di tempat yang bisa dikatakan sangat baik. Apa pantas saya mengeluh hanya karena SK Penempatan Definitif belum keluar sementara teman-teman saya masih bingung karena belum ada lowongan yang terbuka bagi mereka? Seharusnya saya bersyukur atas anugerah pekerjaan yang sudah Tuhan berikan pada saya. Dan masalah penempatan, tak sepantasnya saya mengeluh karena mungkin saja Tuhan sedang merancangkan dan mempersiapkan tempat terbaik buat saya. Sekali lagi saya memang harus bersyukur!
2. Kejadian lain yang membuat saya bersyukur adalah, saya dapat berbagi pada orang-orang yang membutuhkan. Mengapa demikian? Sebulan terakhir ini saya mulai aktif di pelayanan Sahabat Anak Tanah Abang. Sebuah yayasan yang mempunyai visi untuk mengangkat harkat anak-anak jalanan dan kaum marjinal di Kawasan Jakarta dan berusaha memperjuangkan hak-hak anak. Yayasan ini juga punya slogan 'Because They (anak-anak) are Precious'. Di tempat yang kami sebut Bimbel ini saya menjadi volunteer pengajar bagi adik2 SMP. Namun, saya pikir saya tidak hanya menjadi pengajar yang hanya mengajarkan materi pelajaran sekolah saja, karena bagaimana adik-adik ini bisa memahami jika ternyata perhatian mereka tidak tertuju pelajaran yang saya ajarkan. Sering sekali perhatian mereka sama sekali tidak tertuju pada pelajaran. Sering sekali pula saat mereka sulit untuk mengerti mereka langsung menyerah, padahal sebenarnya materi itu merupakan materi yang sangat sederhana bagi anak SMP. Saya akhirnya mencari tau sebenarnya apa yang membuat mereka tidak fokus dan gampang menyerah. Yang saya temukan adalah kurangnya motivasi dalam diri mereka untuk hidup lebih maju dan sempitnya pemikiran mereka yang hanya terbatas pada lingkungan mereka sendiri tidak mau memandang pada lingkungan luar yang sebenarnya lebih layak dari tempat tinggal mereka sekarang. Inilah yang mendorong saya untuk membagikan motivasi kepada mereka bukan sekedar mata pelajaran saja. Disinilah letak rasa syukur saya. Di tengah waktu penantian penempatan yang tak kunjung tiba ini, saya masih dapat membagikan sesuatu yang baik kepada adik-adik yang membutuhkan. Karena mungkin saja setelah saya penempatan, saya sudah tidak di Jakarta lagi sekalipun saya masih terus berharap saya bisa tetap berkontribusi mengajar mereka dengan berdoa supaya saya ditempatkan di Jakarta.
Inilah mengapa saya harus terus bersyukur, karena sebenarnya kebaikan Tuhan masih terlalu banyak untuk disyukuri. Hanya saja mari menggunakan cara pandang Tuhan untuk dapat melihat kebaikan itu dan mengucap 'syukur'. :)
Selasa, 20 Juli 2010
Harapan dalam Doa
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDOpmu7RsnBuaoXDxKRs7sjGceEJ0klWVribFXPGQkHgP2v9ZO3Kdmgk-c8ArddlXbsu3fV3LLenINrbIhApd7hcdN-4JzWkfxZ4QQ2MI47BxFz4hVPi0TmYukPnFkaPjLHJLVrtzSYsVf/s320/SA+TA.jpg)
Rabu, 30 Juni 2010
Ku Sungguh Berharga.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXHcpznfCQ1lJPag3C6xGiB7nhlbriU4NJEzX2o57bvSYHa2KbW1Z-7ZV0ejBVqlHrgAWMZlT0Nd9QzQ_mxCDJSTLhImSDZXCf10mLnhetR09-l5qr7oC5q16J479EajoggJAP11rQoYus/s320/bintalacara.jpg)
Rabu, 26 Mei 2010
To Love You More
Selasa, 25 Mei 2010
Quo Vadis Indonesia (part 1)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP-xcnAjJauYoTy6M1rr3gRyVLc0e1f2koPUD5Z_YtJdURLIqg7TPXjAe_38lww76Jx58H_7YlJmSoI3imxk0Gz9yd6_UV6AxqfBOgtV4YTMuhmVzQ5AIppgcua9C2L065CJ24aNE5Evwq/s320/logo-diknas.jpg)
Saya harus menuliskan judul tulisan ini dengan jenis font yang besar dan mencolok. Judul ini untuk kedua kalinya saya pilih untuk tulisan saya. Saya pernah memilih judul tulisan ini dalam sebuah penugasan mata kuliah bahasa inggris saat di kampus dulu yang pada saat itu bertepatan dengan akan dilaksanakannya Pemilihan Umum 2009 di Indonesia. Dan saat ini saya memilih judul ini kembali di tengah berbagai kasus yang ditangani oleh orang-orang terpilih pada saat Pemilihan Umum 2009 tersebut.
Saya sering sekali merasa miris ketika harus melihat kondisi bangsa yang saya cintai ini saat ini. Ada begitu banyak perkembangan yang menurut pandangan saya sudah melampaui batas dari yang seharusnya sehingga seolah-olah tidak ada lagi koridor pembatas yang menjadi acuan mana yang baik dan yang tidak baik. Dalam tulisan saya ini saya akan membagi dalam beberapa sektor yang saya pandang sangat miris.
1. Sektor Pendidikan yang seharusnya menjadi sangat penting diperhatikan oleh negara karena dari sektor ini bisa menghasilkan bangsa yang berpendidikan, pemimpin yang terdidik dan tentunya mampu bersaing dengan bangsa lain. Berita hangat yang dapat kita dengar belakangan ini dari sektor pendidikan adalah tentang tingkat kelulusan UN pelajar SMA yang pada tahun ini menurun drastis sekalipun menurut Mentri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, ini diakibatkan oleh meningkatnya tingkat kejujuran pelaksanaan UN. Sangat miris sekali ketika mendengar terdapat sekitar 200-an SMA di Indonesia yang tingkat kelulusan UN-nya 0% (tingkat ketidaklulusan UN mencapai 100%) atau dengan kata lain dari SMA tersebut tidak ada satu pun siswanya yang lulus UN. Lalu apa pula efek dari tingkat ketidaklulusan ini adalah mulai dari menangis histeris di sekolah sampai pingsan, tindakan anarkis dari para pelajar yang sampai merusak sekolahnya sendiri, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena rasa malu yang dialami. Lalu apakah dengan demikian UN sebaiknya tidak diberlakukan lagi? Lalu apa yang sudah dilakukan orang-orang yang terpilih pada saat Pemilihan Umum 2009 terhadap hal ini?
Penulis tidak ingin mengambil kesimpulan bahwa UN itu baik ataupun UN itu tidak baik. Karena menurut apa yang saya pelajari dulu bahwa setiap program ataupun kebijakan itu tentunya mempunyai kelebihan maupun kekurangannya masing-masing dan tentunya pemerintah ketika mengambil keputusan untuk melaksanakan UN sudah mempertimbangkan itu semua. Tapi kali ini yang menjadi pertanyaan di dalam hati saya itu adalah kira-kira apa yang dipelajari oleh siswa selama 3 tahun menjalani pendidikan sampai satu pun tidak ada yang lulus dari sekolah tersebut. Ketika pemerintah memberlakukan UN sebagai sarana evaluasi pendidikan, tentunya bukan bertujuan untuk menggagalkan siswa tapi pemerintrah ingin tahu bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk semakin menigkatkan pendidikan di Indonesia. Bayangkan kalau saja tidak ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dunia pendidikan apa yang menjadi dasar pemerintah untuk melakukan perbaikan dunia pendidikan itu sendiri? Dan kalau saja tidak ada perbaikan di dunia pendidikan, bagaimana masyarakat Indonesia mampu bersaing dengan negara lain?
Maka yang dapat saya simpulkan adalah jadikan hasil UN ini sebagai pelajaran bagi semua praktisi pendidikan untuk dapat lebih meningkatkan mutu pendidikan. Guru sebaiknya memperhatikan bagaimana cara mengajar yang baik dalam mengajar (penggunaan metode yang tepat dalam mengajar). Anggaran 20% dari APBN yang disalurkan ke sektor pendidikan harus digunakan sepenuhnya untuk pendidikan bukan ke kantong pejabat yang mengelola dana tersebut.
Namun, yang terlebih penting adalah peran siswa itu sendiri. Belakangan ini siswa terlalu dimanja oleh perkembangan teknologi atau semakin merambahnya usaha bimbingan belajar yang selalu menawarkan cara cepat dalam mengerjakan soal, atau bahkan dimanjakan oleh guru/sekolah yang ingin dianggap berprestasi sehingga memberikan jawaban kepada siswa saat UN (dengan demikian tingkat kelulusan tinggi dan guru/sekolah dianggap berprestasi). Pengaruh dari semua itu adalah. Dengan teknologi yang semaikn tinggi, siswa dapat menggunakan internet untuk mengerjakan tugas dan terjadilah mental siswa yang copy-paste atau dimodifikasi sedikit dengan copy-paste-edit. Dengan demikian sikap mental yang kreatif dan inovatif siswa tidak berkembang tapi justru sebaliknya adalah siswa memiliki sikap mental yang instant (ingin serba cepat). Belum lagi dipengaruhi oleh semakin merambahnya usaha bimbingan belajar yang menawarkan cara cepat dalam penyelesaian soal. Dalam berbagai ujian tentunya hal ini sangat penting untuk mengejar waktu yang tersedia saat ujian, tapi siswa terkadang hanya meniru cara cepat yang diajarkan oleh tentor, tentunya pada saat ujian dengan sedikit modifikasi soal (sedikit berbeda dengan yang dipelajari saat di bimbel) akibatnya siswa menjadi bingung dan tidak dapat mengerjakan soal. Sekali lagi cara instan seperti tentunya tidak baik. Seharusnya siswa itu harus terlebih dahulu belajar bagaimana penurunan rumus secara komplit (atau bagaimana cara cepat itu diambil). Dengan penguasaan penurunan rumus dengan baik, siswa dengan krativitasnya sendiri dapat memodifikasi cara cepat yang tentunya lebih dia kuasai. Jadi, dalam hal ini siswa yang lebih berperan aktif dalam hal kelulusannya. Percuma saja guru mengajar dengan metode terbaik, percuma saja pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan terbaik, kalau siswa tidak memiliki ketertarikan dalam belajar (minat belajar), kalau siswa tidak memiliki mental yang tidak instan.
Saya tidak ingin menutup mata juga akan prestasi pelajar Indonesia dalam mengharumkan nama bangsa di kancah internasional seperti Olimpiade fisika tingkat internasional. Kita patut atas prestasi yang diraih ini. Tapi setelah ada banyak pelajar yang berprestasi di kancah internasional ini, apa dampaknya bagi bangsa selain nama baik bangsa? Adakah dampak lain dari prestasi ini? Atau adakah wadah bagi mereka yang berprestasi ini untuk menyalurkan kecerdasan mereka? Adakah mereka diperhatikan oleh pemerintah setelah mereka menunjukkan prestasinya? Atau lebih mirisnya lagi, adakah anggota dewan, sebagai orang yang terpilih saat Pemilihan Umum 2009 menyalurkan aspirasi mereka ini? (anggota Dewan = wakil rakyat) tampaknya anggota dewan sudah terlalu sibuk mengurusi tuntutan partai/petinggi partai mereka masing-masing sehingga mata mereka tertutup untuk melihat dan akhirnya menangani hal ini. Quo Vadis Indonesia!