Selasa, 25 Mei 2010

Quo Vadis Indonesia (part 1)


Saya harus menuliskan judul tulisan ini dengan jenis font yang besar dan mencolok. Judul ini untuk kedua kalinya saya pilih untuk tulisan saya. Saya pernah memilih judul tulisan ini dalam sebuah penugasan mata kuliah bahasa inggris saat di kampus dulu yang pada saat itu bertepatan dengan akan dilaksanakannya Pemilihan Umum 2009 di Indonesia. Dan saat ini saya memilih judul ini kembali di tengah berbagai kasus yang ditangani oleh orang-orang terpilih pada saat Pemilihan Umum 2009 tersebut.

Saya sering sekali merasa miris ketika harus melihat kondisi bangsa yang saya cintai ini saat ini. Ada begitu banyak perkembangan yang menurut pandangan saya sudah melampaui batas dari yang seharusnya sehingga seolah-olah tidak ada lagi koridor pembatas yang menjadi acuan mana yang baik dan yang tidak baik. Dalam tulisan saya ini saya akan membagi dalam beberapa sektor yang saya pandang sangat miris.

1. Sektor Pendidikan yang seharusnya menjadi sangat penting diperhatikan oleh negara karena dari sektor ini bisa menghasilkan bangsa yang berpendidikan, pemimpin yang terdidik dan tentunya mampu bersaing dengan bangsa lain. Berita hangat yang dapat kita dengar belakangan ini dari sektor pendidikan adalah tentang tingkat kelulusan UN pelajar SMA yang pada tahun ini menurun drastis sekalipun menurut Mentri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, ini diakibatkan oleh meningkatnya tingkat kejujuran pelaksanaan UN. Sangat miris sekali ketika mendengar terdapat sekitar 200-an SMA di Indonesia yang tingkat kelulusan UN-nya 0% (tingkat ketidaklulusan UN mencapai 100%) atau dengan kata lain dari SMA tersebut tidak ada satu pun siswanya yang lulus UN. Lalu apa pula efek dari tingkat ketidaklulusan ini adalah mulai dari menangis histeris di sekolah sampai pingsan, tindakan anarkis dari para pelajar yang sampai merusak sekolahnya sendiri, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena rasa malu yang dialami. Lalu apakah dengan demikian UN sebaiknya tidak diberlakukan lagi? Lalu apa yang sudah dilakukan orang-orang yang terpilih pada saat Pemilihan Umum 2009 terhadap hal ini?

Penulis tidak ingin mengambil kesimpulan bahwa UN itu baik ataupun UN itu tidak baik. Karena menurut apa yang saya pelajari dulu bahwa setiap program ataupun kebijakan itu tentunya mempunyai kelebihan maupun kekurangannya masing-masing dan tentunya pemerintah ketika mengambil keputusan untuk melaksanakan UN sudah mempertimbangkan itu semua. Tapi kali ini yang menjadi pertanyaan di dalam hati saya itu adalah kira-kira apa yang dipelajari oleh siswa selama 3 tahun menjalani pendidikan sampai satu pun tidak ada yang lulus dari sekolah tersebut. Ketika pemerintah memberlakukan UN sebagai sarana evaluasi pendidikan, tentunya bukan bertujuan untuk menggagalkan siswa tapi pemerintrah ingin tahu bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk semakin menigkatkan pendidikan di Indonesia. Bayangkan kalau saja tidak ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dunia pendidikan apa yang menjadi dasar pemerintah untuk melakukan perbaikan dunia pendidikan itu sendiri? Dan kalau saja tidak ada perbaikan di dunia pendidikan, bagaimana masyarakat Indonesia mampu bersaing dengan negara lain?

Maka yang dapat saya simpulkan adalah jadikan hasil UN ini sebagai pelajaran bagi semua praktisi pendidikan untuk dapat lebih meningkatkan mutu pendidikan. Guru sebaiknya memperhatikan bagaimana cara mengajar yang baik dalam mengajar (penggunaan metode yang tepat dalam mengajar). Anggaran 20% dari APBN yang disalurkan ke sektor pendidikan harus digunakan sepenuhnya untuk pendidikan bukan ke kantong pejabat yang mengelola dana tersebut.

Namun, yang terlebih penting adalah peran siswa itu sendiri. Belakangan ini siswa terlalu dimanja oleh perkembangan teknologi atau semakin merambahnya usaha bimbingan belajar yang selalu menawarkan cara cepat dalam mengerjakan soal, atau bahkan dimanjakan oleh guru/sekolah yang ingin dianggap berprestasi sehingga memberikan jawaban kepada siswa saat UN (dengan demikian tingkat kelulusan tinggi dan guru/sekolah dianggap berprestasi). Pengaruh dari semua itu adalah. Dengan teknologi yang semaikn tinggi, siswa dapat menggunakan internet untuk mengerjakan tugas dan terjadilah mental siswa yang copy-paste atau dimodifikasi sedikit dengan copy-paste-edit. Dengan demikian sikap mental yang kreatif dan inovatif siswa tidak berkembang tapi justru sebaliknya adalah siswa memiliki sikap mental yang instant (ingin serba cepat). Belum lagi dipengaruhi oleh semakin merambahnya usaha bimbingan belajar yang menawarkan cara cepat dalam penyelesaian soal. Dalam berbagai ujian tentunya hal ini sangat penting untuk mengejar waktu yang tersedia saat ujian, tapi siswa terkadang hanya meniru cara cepat yang diajarkan oleh tentor, tentunya pada saat ujian dengan sedikit modifikasi soal (sedikit berbeda dengan yang dipelajari saat di bimbel) akibatnya siswa menjadi bingung dan tidak dapat mengerjakan soal. Sekali lagi cara instan seperti tentunya tidak baik. Seharusnya siswa itu harus terlebih dahulu belajar bagaimana penurunan rumus secara komplit (atau bagaimana cara cepat itu diambil). Dengan penguasaan penurunan rumus dengan baik, siswa dengan krativitasnya sendiri dapat memodifikasi cara cepat yang tentunya lebih dia kuasai. Jadi, dalam hal ini siswa yang lebih berperan aktif dalam hal kelulusannya. Percuma saja guru mengajar dengan metode terbaik, percuma saja pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan terbaik, kalau siswa tidak memiliki ketertarikan dalam belajar (minat belajar), kalau siswa tidak memiliki mental yang tidak instan.

Saya tidak ingin menutup mata juga akan prestasi pelajar Indonesia dalam mengharumkan nama bangsa di kancah internasional seperti Olimpiade fisika tingkat internasional. Kita patut atas prestasi yang diraih ini. Tapi setelah ada banyak pelajar yang berprestasi di kancah internasional ini, apa dampaknya bagi bangsa selain nama baik bangsa? Adakah dampak lain dari prestasi ini? Atau adakah wadah bagi mereka yang berprestasi ini untuk menyalurkan kecerdasan mereka? Adakah mereka diperhatikan oleh pemerintah setelah mereka menunjukkan prestasinya? Atau lebih mirisnya lagi, adakah anggota dewan, sebagai orang yang terpilih saat Pemilihan Umum 2009 menyalurkan aspirasi mereka ini? (anggota Dewan = wakil rakyat) tampaknya anggota dewan sudah terlalu sibuk mengurusi tuntutan partai/petinggi partai mereka masing-masing sehingga mata mereka tertutup untuk melihat dan akhirnya menangani hal ini. Quo Vadis Indonesia!

Tidak ada komentar: